pintu itu terbuka..

Mohon dibaca juga tulisan sebelumnya: untuk dikenang dan dia mengemis.

Bangun pagi, badanku terasa segar. Aku tidur pulas semalam rupanya. Agaknya perasaan tenang telah berada kembali di Jogja, membuat tidurku menjadi nyenyak, meski hanya di dalam tenda.

Beberapa saat setelah subuh, suasana berangsur-angsur terang oleh sinar matahari yang mulai muncul. Aku berniat membereskan isi rumah yang berantakan dan belum sempat kubereskan sejak gempa tempo hari.

Kubuka pintu masuk dan kulihat rak bukuku masih tergeletak di lantai dengan beberapa buku yang berserakan di sisinya. Rak itu nyaris mencelakakan putri sematawayangku, Satira.

rak bukuKetika itu, Satira sedang menghabiskan sarapannya, dia bersiap akan berangkat sekolah. Posisi duduknya menghadap ke meja bundar rendah yang berada tepat di depan rak berisi penuh buku itu. Istriku menyapu di teras yang berjarak tidak jauh dari situ, ditemani putra bungsuku, Fatih, di dalam babywalker-nya. Di saat mereka sibuk dengan urusan masing-masing, tiba-tiba goncangan hebat itu terjadi. Spontan istriku melempar sapu yang ada di tangannya, menggendong Fatih, dan menarik tangan Satira, lantas berlari keluar rumah. Beberapa detik kemudian, rak itu pun roboh, melemparkan seluruh isinya, menimpa meja yang ada di depannya dan membuat meja itu patah. Aih… seandainya istriku terlambat beberapa detik saja, sulit ku bayangkan apa yang akan terjadi kepada Satira putriku. Tak henti kuucapkan syukur atas semua itu.

Selesai membereskan rumah, hari sudah mulai beranjak siang. Kubersihkan diriku. Aku berencana hari itu akan memulai petualangan, mencarikan bantuan untuk warga kampung Kweni.

Berdasarkan rekomendasi dari kakak sepupuku yang bekerja di kantor Wapres, kutemui seorang rekan kerjanya yang ditugaskan mengurusi penanganan bantuan di kantor Gubernur DIY. Tapi sayang, aku terlambat. Bantuan berupa bahan makanan baru saja habis dibagi. Tidak ada yang tersisa. Kucoba pergi ke kantor Bupati, lagi-lagi kondisi yang sama kutemukan.

Di tengah kekecewaan itu, tiba-tiba pikiranku tertuju kepada sahabatku, Fakhrurrozi. Sahabatku sesama alumni Gontor yang asli Jogja.

“Zi, apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, ente bagaimana Zon? Aman sajakah?”
“Keadaanku baik-baik saja, hanya kampungku yang parah”
“Ya, aku dengar Kweni termasuk yang parah”
“Zi, tolong carikan bantuan makanan dong buat kampungku, kami kekurangan nih”
“Ah, kebetulan sekali. Ini aku baru dapat paket makanan dari relawan Gresik, ente ke sini saja”
“Sungguh…? Ok, aku segera ke tempatmu”

Tanpa pikir panjang, kupacu sepeda motorku ke Tegalsari, Banguntapan, rumah sahabatku itu. Sesampai di sana kulihat pemandangan yang mengharukan sekali. Rumah sahabatku itu dijadikan posko relawan. Banyak relawan yang berdatangan dari berbagai daerah. Ada yang memberi bantuan logistik, ada juga yang memberi bantuan tenaga, membantu membersihkan puing-puing rumah warga. Suasananya terlihat sangat sibuk.

Dengan mudah kutemukan dirinya. Lelaki bertubuh tambun itu terlihat memberikan arahan kepada beberapa relawan. Melihat kedatanganku, diapun berhenti dari obrolannya dan memperkenalkan diriku kepada teman-temannya.

“Ente lihat mobil pick-up itu?”, ujar Rozi sambil menunjuk ke sebuah mobil di depan rumahnya.
“Ya, kenapa?”
“Di dalamnya sudah terdapat 160 paket makanan, kalau ente mau, silahkan bawa ke Kweni”
”Ente serius Zi?”
“Serius… Kami baru saja dapat dari Gresik, belum kami putuskan akan disalurkan kemana. Pas sekali ente datang, ya sudah, berarti ini adalah rejekinya warga Kweni”
“Alhamdulillah, terima kasih banyak. Bisa kita bawa sekarang?”
“Ayuk…”

Sesampai di Kweni, kutemui Pak RT. Kuberitahukan tentang apa yang baru saja kuperoleh. Bapak yang sudah sepuh itu menyambut dengan sukacita. Tanpa menunggu lebih lama lagi, wargapun kami kumpulkan. Paket yang berisi 10 kg beras, 1 kg gula, mie instant, ikan asin, garam dan minyak goreng itu terbagi dengan rata ke masing-masing kepala keluarga. Ah, tak dapat kusembunyikan, betapa bahagianya diriku melihat senyuman tersungging di wajah mereka. Insya Allah dalam beberapa hari ke depan, mereka tidak akan kelaparan, dan tentunya mereka tidak perlu lagi mengemis di pinggir jalan.

Sejak saat itu, aku terlibat aktif di posko relawan-nya Rozi. Berbagai kegiatan kuikuti. Sedikit demi sedikit, bantuan logistik mulai masuk ke Kweni. Sampai akhirnya, bantuan itupun sudah berlebih dan nyaris mubazir. Di saat itulah aku mulai berpikir, bahwa bantuan logistik sudah tidak perlu lagi kucarikan. Ada hal lain yang tidak boleh diabaikan, yakni rumah warga.

Menurutku, tinggal dalam waktu lama di tenda secara bersama-sama tidaklah baik. Bisa dipastikan nantinya akan muncul persoalan sosial. Namun, untuk kembali ke rumah masing-masing sudahlah pasti tidak mungkin, karena rumah mereka sudah rata dengan tanah. Menunggu reaksi Pemerintah soal rekonstruksi aku sangat yakin akan membutuhkan waktu yang panjang. Dari berita yang kubaca, Pemerintah kala itu sibuk berdebat soal besaran bantuan. Aku tidak tahu pasti apa yang sedang mereka persoalkan. Tapi, yang jelas, aku yakin, kalau bantuan pembangunan kembali rumah warga akan sangat lama terealisir.

Menyadari hal itu, kulontarkan sebuah ide kepada Pak RT. Yakni, mencarikan bantuan untuk mendirikan rumah-rumah sementara bagi warga. Rumah sementara itu terbuat dari bahan yang sederhana saja yakni bambu, gedek dan atap seng. Ukurannya sekitar 4×4 meter. Intinya hanyalah ingin memindahkan penampungan warga, dari tenda ke bangunan yang sedikit lebih kokoh dan mampu melindungi mereka dari panasnya matahari maupun dinginnya malam. Dan yang terpenting lagi, agar mereka dapat tetap memiliki privacy.

Pak RT menyambut baik usulku itu. Kamipun berbagi tugas. Warga yang memiliki kecakapan di bidang bangunan, diminta untuk menggambar sketsa rumah sementara tersebut dan menghitung biayanya. Aku, bertugas membuat proposal dan menyebarkannya kepada orang-orang yang aku kenal atau lembaga tertentu.

Proposalpun kusebar ke seluruh penjuru dunia, via pos maupun dunia maya. Tanpa harus menunggu lama, email yang kukirim mendapatkan respon. Sedikit demi sedikit, bantuan uang dari sahabat-sahabatku, baik yang di luar negeri maupun dalam negeri mulai berdatangan. Seberapapun uang terkumpul, segera kami belikan bahan dan dirikan rumah sementara yang kami maksud, secara bergotong royong.

Alhamdulillah, selang beberapa minggu, hampir seluruh warga yang rumahnya roboh berhasil kami bangunkan rumah sementara, berlokasi tidak jauh dari rumah aslinya. Dengan demikian, tenda-tenda sudah tidak diperlukan lagi. Warga sudah punya rumah, meski sederhana. Mereka bisa tenang membereskan rumah mereka dan bekerja kembali untuk melanjutkan hidup.

Rumah Sementara, tempat penampungan warga, sebagai pengganti tenda
Rumah Sementara, tempat penampungan warga, sebagai pengganti tenda
DR. Khaled, pendonor dari Qatar. Sebagian besar donasi kami peroleh dari beliau

DR. Khaled, pendonor dari Qatar. Sebagian besar donasi kami peroleh dari beliau

Akhirnya, aku sadari bahwa musibah ini memiliki hikmah tersendiri bagiku. Kejadian ini telah membukakan pintu “persaudaraan” bagiku terhadap warga Kweni. Aku yang awalnya pesimis bisa dengan cepat beradaptasi, karena bahasa dan budaya kami yang sangat jauh berbeda, ternyata berjalan dengan cepat, bahkan lebih cepat dari apa yang kubayangkan. Aku tidak sekedar merasa menjadi pendatang di kampung itu, tapi lebih dari itu, aku merasakan kalau Kweni adalah kampungku. Terima kasih Tuhan… 🙂

(mengenang 3 tahun gempa Jogja)

vizon-barak

20 thoughts on “pintu itu terbuka..

  1. foto-foto dengan bangunan rumah yang sudah lumayan da vizon. saat ke jogya dulu saya masih banyak menemukan atap rumah yang masih berupa plastik/terpal. jauh lebih banyak lagi reruntuhan ataupun mereka yang tinggal di tenda-tenda.

    cerita gempa yang dahsyat, walau mungkin di aceh sana jauh lebih dahsyat lagi.

  2. Uda, aku sudah baca ketiga tulisan ..menyentuh sekali. Aku baru tau kalau Uda termasuk yang mengalami kejadian Gempa Jogja 3 tahun lalu.

    Tulisan ini bagus sekali Uda, menyentuh sekali. Aku bisa menangkap segala yang terjadi hanya dengan membaca. Udah bisa mendeskripsikan kejadian tersebut dengan amat sangat akurat.

    semoga Allah swt selalu memberikan perlindungan kepada kita dan orang orang yang kita kasihi. Amien.

  3. mengenang tiga tahun bencana dahsyat itu.
    ternyata uda vizon masih arif menangkap hikmah.
    alhamdulillah…

    saya akan melanjutkan membaca dua tulisan sebelumnya.

  4. Saya terharu membaca nya, musibah selalu membuat semua warga saling mengenal, menyingsingkan lengan dan bergotong royong. Kemandirian warga Yogya setelah musibah gempa ini, membuat rehabilitasi nya cepat sekali…..
    Tentu merupakan pengalaman yang tak terlupakan ya, Uda.
    Saya tak membayangkan, jika nyonya tak segera menarik Satira…

  5. uda…ketika Allah berkehendak dalam sekejab mata semua bisa hancur ya….

    sedih banget dan tersentuh banget sama cerita2 uda…semoga Jogja bisa melupakan kejadian ini…walaupun sulit rasanya.

  6. Ada goncangan ringan saat Bantul dan sekitarnya dihempas gempa hebat, tiga tahun lalu itu. Gempa mungil, tetapi membuat kami ketakutan.

    Nah, bagaimana jika getaran dahsyat yang terjadi di DIY itu menimpa kami juga, di daerah-daerah lain? Tak bisa dibayangkan!

    Sebab itu, kami turut sedih hingga berlarut mengenang bencana itu. Khusus untuk Uda Vizon, Anda salah satu kepanjangan tangan Tuhan untuk menyelamatkan jiwa orang. Salut, Uda. Salut!

  7. Turut bersyukur Tuhan telah melindungi Satira, dan semua anggota keluarga Uda.

    Sama seperti Lala, saya sangat bangga bisa kenal dengan Uda. Benar-benar bangga.

    EM

  8. Banyak yang berpikir untuk ngasih bantuan ke kampung yang pelosok,, karna lebih susah dicapai..
    Tapi kebanyakan yang mikir begitu, malah yang deket jadi terlewatkan …

    Aku juga bangga sama Uda 🙂

  9. Wow, keren!
    Meski belum terlalu lama menempati Kweni, anda tampak begitu proaktif membantu mereka yang bahkan lebih lama menetap di sana ya…

  10. waktu ada gempa dan isu tsunami di padang, semua warga berbondong-bondong pergi ke arah indarung dan kampus unand. jadi ingat waktu itu wempi lagi kuliah.

    tapi hebat, walikota padang siap sedia di mengudara langsung di RRI Padang, sedangkan mesjid-mesjid yang ada di kota padang serentak menyiarkan siaran langsung walikota di radio tersebut melalui corong masjid.

    jadi semua warga bisa tenang, kecuali pada titik tertentu warganya tetep panik, gak tau info terkini dari walikota, listrik padam-corong masjid tidak berfungsi, hueheuehu…

  11. Aku ngelangut membaca tulisan ini. Kau adalah peluru, Sahabatku. Kau melesak ke banyak sasaran. Jitu pula. Entah, senjata apik apa yang bisa melontarkan peluru segesit itu. Tentunya bukan pistol sembarangan…

    aduh… panahmu itu tajam sekali Dan… aku tertusuk hingga ke ulu hati… 🙂
    terus terang, aku takut sekali dg pujian seperti ini. makanya, komen teman2 di sini tak ku jawab, aku takut, beneran!

    • Aku paham kok, Da. Justru di situlah kualitas dirimu terpantul tanpa kau bermaksud dengan sengaja menunjukkannya.

      Berbahagialah menjadi manusia bernama Hardi Vizon. Sebuah kualitas tersendiri.

  12. Pingback: sabtu me-lindu | SURAUPUSAKA

Leave a comment