ada buya dan tape di kweni

Hari Sabtu, 13 Maret 2010 kemarin, Kweni mendapat kehormatan. Sahabat narablogku datang dari jauh; Jakarta dan Pare-pare. Mereka adalah pasangan Krismariana-Oni (Jakarta) dan Nana Harmanto (Pare-pare). Mereka benar-benar menyengajakan diri untuk datang ke Kweni dalam rangka mengisi liburan yang mereka buat sendiri (hehehe…).

Mereka datang tepat pada pukul 10.00 wib, sesuai dengan janji sebelumnya di sms. Aku yang sedang mengerjakan sesuatu, tentu saja tergopoh-gopoh membersihkan diri ketika mereka muncul dengan tiba-tiba di depan rumah. Apalagi di rumah hanya aku sendiri dan ibu mertua. Para fantastic four dan istriku sedang beraktifitas di sekolah mereka masing-masing. Jadilah suasana rumah nyaris sepi, tanpa keributan dan kehebohan yang biasanya.

Aku senang sekali melihat ketiga sahabatku itu. Meski kami baru bertemu di akhir tahun 2009 yang lalu, namun kerinduan untuk bertemu kembali tetap bergelora. Apalagi kali ini mereka berkenan mengunjungi kediamanku yang jauh dari kata nyaman dan bagus. Dan yang lebih menyenangkan adalah mereka menghadiahiku sesuatu yang sangat aku sukai. Continue reading

mandi hujan

Setelah shalat Jum’at cuaca di Kweni dan sekitarnya mendung sekali. Gelap gulita. Sepertinya, hujan yang sudah lama dinanti, akan turun dengan derasnya. Benar saja, tak lama berselang, hujan rintik-rintikpun turun. Diawali dengan hujan yang lembut sekali. Pikirku, kok seperti salju ya? Oh iya, jadi ingat hari ini sahabat-sahabatku umat Kristiani sedang merayakan Natal. Apakah salju di belahan bumi bagian barat sana juga turun di Kweni? Haha… menghayal 🙂

Ok, sebelum dilanjut, aku mau mengucapkan Selamat Merayakan Natal bagi sahabatku umat Kristiani, semoga kita selalu hidup dalam kedamaian abadi… 🙂

Kembali ke laptop hujan…! (Tukul mode: ON). Tidak terlalu lama hujan lembut itu turun, hujan deraspun menyusul. Aku nikmati tetesan air itu melalui jendela rumah. Indah sekali rasanya. Selang berapa lama, hujan yang lainpun datang. Yakni, hujan rengekan dari tiga orang fantastic four. Satira, Ajib dan Fatih merengek minta diizinkan mandi hujan. Dengan segala cara dan aksi mereka merengek. Setelah memberi syarat agar mereka tidak terlalu lama mandinya, aku pun memberi izin. Continue reading

pulang

Seperti yang kuceritakan pada postingan sebelum ini, bahwa sejak gempa melanda Sumatera Barat, kami berusaha untuk mengontak seluruh keluarga di Sumbar, terutama yang di Padang. Dengan usaha yang gigih dan kesabaran yang luar biasa, akhirnya aku dapat terhubung dengan kakakku di Padang. Meski hanya sms, tapi itu sudah cukup melegakan. Kakak dan adikku beserta keluarganya yang ada di Padang, alhamdulillah selamat. Meski rumah mereka porak poranda, tapi itu tidak lantas mengurasi rasa syukur kami.

Selanjutnya aku pun berhasil menghubungi Imoe, sahabat blogger. Dari sms yang dikirimnya, akupun dapat mengetahui bahwa dia baik-baik saja. Soal kerusakan rumah, entahlah, karena itu sudah tidak menjadi fokusku lagi. Yang penting ia selamat. Begitupun dengan Arif “aurora”. Secara mengejutkan dia tampil memberi komen di postingan terdahulu dan bahkan sudah membuat sebuah postingan di blognya. Alhamdulillah… Continue reading

pintu itu terbuka..

Mohon dibaca juga tulisan sebelumnya: untuk dikenang dan dia mengemis.

Bangun pagi, badanku terasa segar. Aku tidur pulas semalam rupanya. Agaknya perasaan tenang telah berada kembali di Jogja, membuat tidurku menjadi nyenyak, meski hanya di dalam tenda.

Beberapa saat setelah subuh, suasana berangsur-angsur terang oleh sinar matahari yang mulai muncul. Aku berniat membereskan isi rumah yang berantakan dan belum sempat kubereskan sejak gempa tempo hari.

Kubuka pintu masuk dan kulihat rak bukuku masih tergeletak di lantai dengan beberapa buku yang berserakan di sisinya. Rak itu nyaris mencelakakan putri sematawayangku, Satira. Continue reading

dia mengemis..

Sebelum membaca yang ini, ada baiknya baca dulu tulisan sebelumnya: “untuk dikenang”

Demi mengurangi trauma anak-anakku karena gempa, kuputuskan untuk mengungsi sementara ke Jakarta. Kupikir, dengan menjauh sementara dari lokasi kejadian itu, akan dapat menjadi semacam terapi buat mereka. Apalagi, sekolah diliburkan selama dua minggu ke depan. Tiga hari setelah gempa itu terjadi, kamipun berangkat ke Jakarta.

Di Jakarta, kami tinggal di rumah kakak sepupu. Kami dilayani dengan penuh kehangatan. Apalagi kakakku itu tinggal seorang diri. Suaminya sudah tiada, anak semata wayangnya pun sedang kuliah di kota Padang. Jadilah kehadiran kami membuat dirinya merasa terhibur sekali.

Tapi, liburan mendadak itu tidak membuat diriku nyaman. Hatiku gelisah. Pikiranku tidak tenang. Ada semacam rasa bersalah di diri ini. Continue reading

untuk dikenang

Hari ini,  tiga tahun yang lalu, bumi Yogyakarta dan sekitarnya luluh lantak oleh goncangan gempa bumi. Peristiwa itu bagiku seolah ucapan “Selamat Datang” yang amat dahsyat dan istimewa. Keberadaan kami di kampung Kweni belumlah lagi lama, tidak lebih dari sebulan. Belum banyak tetangga yang kami kenal secara akrab. Terasa cukup sulit bagi kami untuk bisa berinteraksi dengan warga. Barangkali karena budaya dan bahasa kami yang jauh dari kata “sama”. Namun, peristiwa gempa bumi itu telah mempercepat semuanya. Kali ini, aku ingin menceritakannya kembali, untuk dapat mengabadikan kenangan itu bersama sahabat semua.

Sabtu pagi, 27 Mei 2006, aku sedang berada di Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur dalam rangka menghadiri Temu Akbar Alumni pada peringatan 80 tahun berdirinya pesantren tersebut. Setelah salat Subuh, aku mengajak beberapa teman untuk napak tilas di setiap sudut pesantren yang pernah menjadi bagian penting hidup kami. Satu persatu area pesantren kami lewati sambil menceritakan segala memori yang berkaitan dengan lokasi itu. Tentu saja, kegiatan itu mengundang tawa. Ya, kami menertawakan keluguan kami dahulu… 😀

Ketika sampai di depan gedung olah raga, tiba-tiba langkah kami terhenti. Secara mengejutkan, bumi bergoncang. Meski tidak terlalu keras, tapi cukup mengagetkan. Sekonyong kami lihat para santri berhamburan dari asrama-asrama mereka. Suasana gaduh segera terasa. Jantungku berdegup kencang. Continue reading

ketamuan

Awal tahun 2009 ini aku diberikan keberkahan yang luar biasa, yakni kedatangan tamu yang lumayan sering. Ada yang memang kebetulan liburan ke Jogja, kemudian menemuiku dan ada juga yang memang sengaja bertemu denganku.

Yang spesial adalah rombongan teman sejawatku dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup Bengkulu. Mereka mengadakan studi tour ke Solo dan Jogja. Karena aku ada di Jogja, maka aku diminta untuk mengatur segala kebutuhan mereka selama di Jogja; penginapan, makan, city tour, dan yang terpenting urusan ke lembaga-lembaga yang akan mereka kunjungi. Seru sekali. Jumlah mereka 63 orang. Kehadiran mereka cukup memberikan kebahagiaan tersendiri bagiku. Setidaknya, mereka tahu kalau “amanah” tugas belajarku sedang aku jalankan dengan baik.

Yang paling istimewa adalah kehadiran kedua orangtuaku. Kerinduaku kepada mereka memang luar biasa besarnya. Tapi, keadaan membuatku tidak bisa sering-sering pulang kampung. Terakhir aku pulang 2 tahun yang lalu. Itupun aku pulang sendiri, tanpa membawa cucu-cucu mereka. Sebetulnya aku sedikit kecewa, karena sesungguhnya yang mereka rindui itu cucu-cucunya bukan aku..! Oh nasib… 😀 Continue reading

Badindin; kambangkan budayo kito

Banyak ragamnyo
Budayo datang
Budayo kito
Kambangkan juo…

Itulah penggalan dari bait lagu pengiring tari Indang, yang juga sering disebut dengan tari badindin, asal Minangkabau (Sumatera Barat).

Sebetulnya, aku sudah cukup sering mendengarkan lagu ini. Tapi, entah kenapa, baru kali ini bait-bait lagu itu menjadi perhatianku. Continue reading