untuk dikenang

Hari ini,  tiga tahun yang lalu, bumi Yogyakarta dan sekitarnya luluh lantak oleh goncangan gempa bumi. Peristiwa itu bagiku seolah ucapan “Selamat Datang” yang amat dahsyat dan istimewa. Keberadaan kami di kampung Kweni belumlah lagi lama, tidak lebih dari sebulan. Belum banyak tetangga yang kami kenal secara akrab. Terasa cukup sulit bagi kami untuk bisa berinteraksi dengan warga. Barangkali karena budaya dan bahasa kami yang jauh dari kata “sama”. Namun, peristiwa gempa bumi itu telah mempercepat semuanya. Kali ini, aku ingin menceritakannya kembali, untuk dapat mengabadikan kenangan itu bersama sahabat semua.

Sabtu pagi, 27 Mei 2006, aku sedang berada di Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur dalam rangka menghadiri Temu Akbar Alumni pada peringatan 80 tahun berdirinya pesantren tersebut. Setelah salat Subuh, aku mengajak beberapa teman untuk napak tilas di setiap sudut pesantren yang pernah menjadi bagian penting hidup kami. Satu persatu area pesantren kami lewati sambil menceritakan segala memori yang berkaitan dengan lokasi itu. Tentu saja, kegiatan itu mengundang tawa. Ya, kami menertawakan keluguan kami dahulu… 😀

Ketika sampai di depan gedung olah raga, tiba-tiba langkah kami terhenti. Secara mengejutkan, bumi bergoncang. Meski tidak terlalu keras, tapi cukup mengagetkan. Sekonyong kami lihat para santri berhamburan dari asrama-asrama mereka. Suasana gaduh segera terasa. Jantungku berdegup kencang.

Belum lagi habis keterkejutanku, ponselku berdering. Dari istriku rupanya.

“Wan, barusan ada gempa!”, ujar istriku dengan nafas yang masih belum teratur.
“Ya, di sini juga terasa, tapi hanya sebentar”
“Di sini keras sekali”
“Oya?”
“Rumah mbah Karto rata dengan tanah, rumah Mas Sigit juga…!”
“Ha…? separah itu? rumah kita bagaimana?”
“Rumah kita tidak apa-apa, hanya barang-barang saja yang berantakan. Sekarang kami di luar, ndak berani masuk rumah”
“Subhanallah… ya sudah, saya pulang sekarang”
“Tapi, acaranya?”
“Bertemu kalian jauh lebih penting daripada mengikuti acara itu”

Segera saja aku pamit kepada teman-temanku untuk segera kembali ke Jogja. Beberapa teman yang sama-sama berasal dari Jogja kutawari untuk ikut kembali. Berbagai alasan mereka lontarkan yang intinya adalah mereka ingin tetap ada di Gontor. Ah, aku tidak peduli, bagiku, memastikan keselamatan keluargaku jauh lebih penting dari itu semua. Apalagi kami yang baru saja merantau ke kota itu, tidak ada sanak saudara yang akan membantu kami.

Dengan segala upaya, akhirnya aku berhasil mendapatkan travel yang akan berangkat ke Jogja dari Ponorogo via Imogiri. Alhamdulillah, batinku, ini akan mempercepat perjalananku. Karena, bila harus naik bus via Madiun, kemungkinan besar sore hari aku baru sampai. Dengan melewati jalur Wonogiri, perjalanan hanya butuh lebih kurang 4 jam.

Dalam travel, selain diriku, terdapat 4 penumpang, yang semuanya adalah mahasiswa. Baru berjalan lebih kurang setengah jam, para mahasiswa tersebut mendapat telpon dari orangtua mereka masing-masing, menyuruh mereka untuk membatalkan keberangkatan ke Jogja. Ternyata, berita soal gempa Jogja telah tersiar di televisi. Kengerian mulai merasuki para orangtua itu sehingga menyuruh anak-anak mereka untuk kembali.

Keempat mahasiswa itupun turun di jalan. Tinggallah diriku sendiri di mobil travel itu. Kulirik sang sopir.

“Mas, masih mau melanjutkan perjalanan?”, ujarku
“Masih Pak, memangnya kenapa?”
“Kalau mas takut, tidak apa-apa, tidak usah dilanjutkan. Tapi, tolong carikan aku kendaraan yang dapat mengantarku ke Jogja hari ini juga. Keluargaku ada di sana Mas!”
“Jangan khawatir Pak, saya akan hantarkan Bapak sampai Jogja, apapun yang terjadi”
“Sungguh Mas?”
“Iya Pak”
“Alhamdulillah, terima kasih banyak Mas”
“Sama-sama Pak”

Tak henti ku ucapkan syukur di hatiku. Kalimat si Mas Sopir itu mampu membantu menenangkan diriku. Karena, dari sejak terakhir ditelpon istriku tadi, praktis hubungan telpon terputus sama sekali. Sama sekali aku tidak bisa menghubungi mereka, untuk mengetahui keadaan. Perasaanku campur aduk.

Satu jam kemudian, tiba-tiba ponselku berbunyi. Dari sekolah Afif.

“Halo”
“Wan, Icha sekarang di sekolah Afif, menjemputnya”, jawab istriku dengan sedikit isakan yang tertahan
“Bagaimana keadaan?”
“Tadi ada isyu tsunami, kami berlarian menuju Utara. Tapi, Ajib…”
“Iya, kenapa Ajib?”
“Dia terpisah dari kami, tidak tahu sekarang ada di mana”
“Astaghfirullah…!”, bergidik bulu romaku, setetes air hangat mengalir dari sudut mataku, “Terus?”
“Tapi mudah-mudahan dia ada bersama Evan (adikku yang juga kuliah di Jogja), soalnya tadi Icha lihat sekilas ada Evan dekatnya”
“Ya, mudah-mudahan”

Jantungku bergemuruh. Ingin rasanya ku terbang, tapi tentu tidak bisa. Kucoba menghubungi Evan adikku. Lagi-lagi tidak bisa. Sekonyong-konyong ada sms masuk, dari sahabatku Rahmawan yang bertempat tinggal di Babarsari, Utara kota Jogja; “Segera pulang, Jogja hacur!”

Deng…! Pesan singkat itu semakin membuatku gelisah. Kubalas, tapi gagal. Aih, rupanya sms itu dia kirim dari dua jam yang lalu lagi. Tak henti kuucapkan doa, agar aku bisa segera sampai dan menemukan keluargaku baik-baik saja.

Memasuki daerah Klaten, kami saksikan pemandangan yang tak kalah mengaduk-aduk emosi. Kendaraan-kendaraan memutar balik, penduduk berlarian ke arah kami.

“Segera balik!”, seru salah seorang sopir bus kepada kami
“Ada apa Mas?”, sahut sopor travelku
“Air naik”, ujarnya

Ah, kepanikan telah melanda penduduk. Sama seperti yang dialami istriku, rupanya penduduk termakan isyu bahwa telah terjadi tsunami di laut selatan. Agaknya, bayangan tsunami Aceh yang belum lama berselang masih menghantui mereka. Ketakutan akan hal itu wajar saja. Kembali kulirik Mas Sopir.

“Mas, masih mau lanjut?”
“Tenang saja Pak, kita lanjut”
“Tapi…”
“Halah, paling itu hanya isyu Pak. Nanti kita buktikan. Di depan ada sungai. Kita lihat, bila airnya deras, berarti benar telah terjadi tsunami”

Selang beberapa menit kemudian, kami bertemu dengan sungai yang dimaksudnya. Ternyata benar, air sungai itu sama sekali tidak deras, bahkan nyaris kering.

“Tu kan Pak?, itu semua hanya isyu”
“Yah, terima kasih Mas, njenengan bisa menenangkanku”

Perlahan kami beringsut menuju Jogja. Sepanjang jalan kulihat banyak rumah yang sudah rata dengan tanah, begitu juga dengan orang-orang yang mengalami luka. Aku bergidik. Ah, benar-benar parah rupanya.

Tepat pukul 11.00 wib, kami memasuki kota Jogja. Candi Prambanan kami lalui. Ternyata, candi kebanggaan Jogja itupun mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Terlihat dari kejauhan kalau candi itu rusak. Sudah pasti akan butuh waktu lama untuk memperbaikinya kembali.

Sampai di mulut gang rumahku, mobil travel berhenti. Kami tidak bisa masuk! Gang itu tertutup oleh reruntuhan rumah tetanggaku. Tak sabar lagi, aku langsung melompat turun. Kuucapkan terima kasih kepada si Mas Sopir yang luar biasa itu. Kuterjang reruntuhan itu. Aku serasa melayang. Ingin segera kutemui keluargaku.

gempa-kweni

Reruntuhan yang menutup akses jalan ke rumahku. Sahabat blogger pernah melewati jalan ini

Begitu sampai di depan rumah, anak-anakku berlarian menyambutku. Mereka menangis. Mereka ketakutan. Kupeluk mereka semua, kuberikan seluruh kedamaian kepada mereka, kuyakinkan bahwa mereka sudah aman.

Dan… aku lega sekarang, telah bertemu mereka, apalagi Ajib juga ada di situ…

Pendopo yang pernah sahabat blogger gunakan untuk "bermain bersama bocah Kweni"

Pendopo yang pernah sahabat blogger gunakan untuk "bermain bersama bocah Kweni"

bersambung…

23 thoughts on “untuk dikenang

  1. tersiar kabar kalo bangunan di jogja sebagian besar dibangun tanpa tiang bertulang dan tanpa pondasi, makanya banyak yang roboh. tapi itu hanya ‘tersiar’, uda yang lebih tau.

    benar sekali Wempi… kebanyakan rumah penduduk yg roboh adalah rumah yg “tak bertulang”, tapi banyak juga gedung2 besar yg tulangnya dari baja turut remuk, entahlah…

  2. mengambang air mataku baca tulisan ini, uda.
    memang patut dikenang dan keluarga adalah segala-galanya.

    ya mb puak… peristiwa ini sengaja ku ceritakan, untuk kembali mengenangnya dan mengabadikannya dalam angan kita…

  3. aduhhhh…gempa jogja itu dasyat banget uda…
    walau tidak separan tsunami aceh…anyak sekali korban jatuh…

    😦

    memang dahsyat Ri…
    ditambah lagi, secara psikologis, kita baru saja menyaksikan dahsyatnya tsunami aceh, sehingga masyarakat dengan mudah dipatik emosinya

  4. bergidik membaca tulisan ini..

    jadi terkenang peristiwa waktu itu, aku yg d solo pun sampai terlempar dari ranjang
    sama mas, waktu itu resah sekali, keluargaku juga di jogja, untung selamat semua

    smoga semua korban saat ini bisa tersenyum, baik yang masih bersama kita, maupun yang sudah berpulang

    salam kenal mas…

    keluarga saya alhamdulillah selamat, tapi tetangga terdekat saya ada 6 orang yg menjadi korban, semoga mereka berbahagia di sisi Tuhan saat ini… 🙂
    salam kenal juga, terima kasih…

  5. aduuuuuh Uda,
    aku bener nangis bayangin paniknya Uda dan Uni waktu Ajib ngga ketemu…duuuh bagaimana paniknya ya. Untung sekali itu supir travel mau jalan terus ya… Aku ngga tahu jalan dan pendopo yang kita lewati dan pakai itu sampai hancur begitu…. Duhhh

    ya nechan, panik sekali… tapi syukurnya ajib masih diselamatkan Tuhan… ketika semua orang berlarian karena panik oleh isu tsunami, adik saya Evan, melihatnya dan segera menggendongnya dan berlari dg arah yang berbeda dengan istri saya. mereka ketemu lagi beberapa saat sebelum kedatangan saya…

    sengaja saya tampilkan gambar2 itu, karena jalan dan pendopo itu memiliki makna khusus bagi sahabat blogger yang pernah berkunjung ke kampung kweni tempo hari dulu…

  6. Yang bikin saya aneh, da. Kenapa hancurnya sangat parah. Banyak banget rumah2 yang rata sama tanah. Mungkin karena itu korban jiwa banyak karena terhimpit bangunan runtuh

    kabarnya, tingginya tingkat kehancuran, CMIIW, karena episentrumnya ada di darat, yakni desa pundong. kedua, karena rumah penduduk kebanyakan adalah rumah lama yg tidak menggunakan besi sebagai kerangka rumah mereka, hanya saja, banyak juga bangunan besar yg rusak, seperti gedung kampus STIEKERS yg berlantai empat…

  7. Saya terhanyut…benar-benar gempanya terasa sampai Ponorogo ya.
    Katanya saat itu memang kacau balau ya, karena ada isu tsunami, yang dari Kaliurang turun karena dikira gunung Merapi meletus dan dari bawah naik karena takut tsunami (cerita bos saya yang saat itu lagi berada di Yogya).
    Dan temenku senewen karena hape anaknya yang tinggal di Yogya tak bisa dihubungi. Syukurlah hape uda masih bisa berhubungan dengan nyonya, walau itu tak mengurangi kekawatiran.

    Semoga kita dijauhkan dari marabahaya. Amien.

    hubungan telepon antara saya dan istri hanya 2 kali itu saja bu enny, yakni ketika pertama kali dia memberitahukan soal gempa tersebut, dan kedua ketika dia menelepon dari sekolah anak saya. ketika itu, seharian hanya telepon kabel yang bisa dihubungi…

    ya, semoga kita dijauhi dari marabahaya, dan lebih penting lagi, bila bencana itu menemui kita, kita selalu dalam keadaan “siap”… amin

  8. wah, giris hati saya Uda, membaca tulisan Uda ini, apalagi melihat photo pendopo yang sempat kita kumpul di sana dulu itu. huuiiih…
    semoga tak terjadi lagi kejadian2 seperti itu.
    ngomong2, untungnya Uda mendapat sopir yang luar biasa. terus terang saya salut dan kagum sama beliau. pernah ketemu lagi nggak ?

    iya, pendopo yg kita pakai tempo hari sudah hasil perbaikan, ketika gempa mengalami kerusakan seperti terlihat di foto…
    benar sekali mas goen, sopir itu luar biasa…
    saya belum pernah ketemu lagi dengannya setelah itu, pernah saya coba mendatangi travel tersebut, ternyata dia sudah berhenti… tulisan ini, termasuk untuk mengenang dirinya… 🙂

  9. Mamaku panik sedih takut berdoa tak putus-putus waktu itu. Hape mati. telepon mati.
    Hampir dini hari baru aku bisa telpon..
    Kebayang sedih dan paniknya Mama waktu itu ….

    memang… semuanya panik, sedih dan takut…
    apalagi malamnya, listrik padam ditambah dg hujan deras…

  10. Gempa itu terjadi hari Sabtu pagi seingat saya dan ketika itu pas akan mengikuti ujian komputasi geofisika. Sepanjang perjalanan kami (saya dan teman2) membicarakan ttg gempa yang sangat dahsyat ini.
    BTW umur Ajib ketika itu berapa Da Skarang kan baru 5 thn ya??
    Setelah 3 tahun ini, gimana keadaan Jogja da, apakah udah kembali normal?? Soalnya 2 kali kesempatan saya utk pergi ke jogja gagal karena beberapa hari sebelum brangkat harus di opname di RS. Apakah saya tidak jodoh dgn Jogja???

    waktu itu Ajib baru 2 th Son…
    sekarang jogja sudah normal kembali, rumah2 yg roboh sudah dibangunkan lagi… masyarakat sudah kembali ke kehidupan semula, termasuk kembali larut dalam kehidupan duniawi… 😦

  11. Saya bisa membayangkan karena saya pun merasakannya.
    Sesuatu yang memang harus kita kenang sbagai satu peringatan bahwa kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan alam, apalagi dibandingkan Tuhan … 🙂

    kesadaran akan kebesaran Tuhan, seketika muncul di masyarakat pasca gempa itu Don…
    terlihat betapa mereka beribadah dg khusyuk
    tapi, sekarang… duh, prihatin… 😦

  12. Ufh..kejadian memilukan itu sudah setahun rupanya…

    Dari samarinda, mudahan saja wong Jogja bisa mengambil hikmah semuanya dengan bijaksana….

    Salam kompak slalu fren!

    bukan setahun mas, tapi sudah tiga tahun peristiwa gempa itu terjadi (27 Mei 2006)
    Salam kompak juga bro… 🙂

  13. Ya ALLAH Uda …
    Saya terasa ikut larut dalam situasi saat itu …
    Memang mengerikan sekali … jika aku lihat di TV waktu itu …

    Tapi alhamdulillah …
    Sekarang sudah pulih semua ya Uda …

    Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini …

    DItunggu lanjutannya Uda …
    Salam saya

  14. Terbayang paniknya suasana waktu itu ya uda.. ada keluarga ipar saya yang tinggal di Bantul dan alhamdulillah mereka baik2 saja..

  15. Pingback: dia mengemis.. « surauinyiak

  16. Ceritanya seru dan mengharukan, bro. Si supir travel itu luar biasa dedikasinya. Mudah2an tak terjadi lagi gempa dahsyat seperti itu…

  17. Pingback: pintu itu terbuka.. « surauinyiak

  18. saya sempat melihat langsung akibat yang ditimbulkan gempa di daerah bantul, 5 hari setelah kejadian. kebetulan ada teman guru yang berasal dari sana.
    saya sungguh terpana, sedih, pengen nangis melihat semuanya. tapi entahlah, air mata……

  19. da vizon, membaca blog uda tadi sore terputus dan baru dilanjutkan sekarang. wah, ternyata membaca tulisan ini membuat saya “menyaksikan” kejadian tiga tahun silam. sungguh mengenaskan, dan sangat terasa kekuatiran uda dan para penduduk saat itu. apalagi dengan melihat foto-foto yang disisipkan di sini.

    taunya ajib sempat hilang di mana, da?

  20. Ada warung bebek goreng yang dulu sering saya kunjungin kalo ke Jogja. Warungnya jelek banget dan reyot, tapi bebeknya enak.

    Saya ke sana setelah gempa, dan saya sedih mendapatkan warung itu sudah hancur.

    Saya ke sana lagi setahun setelah gempa dan nostalgia mencari warung itu biarpun saya tau tinggal puing-puingnya aja. Ternyata, warung itu udah berdiri lagi, bangunannya lebih kokoh, pemiliknya masih hidup, dan bebeknya masih enak.

    Nampaknya, mungkin Tuhan mengirim musibah untuk membantu para korban untuk belajar bagaimana membangun rumah yang lebih baik.

    Mudah-mudahan keluarga Pak Vizon bisa melewati trauma ini dengan baik ya.

  21. Saya jadi ingat uda kenangan waktu saya di Jogja saat gempa. Saat itu kebetulan kami 1 kost lagi tidur. Rumah berguncang sangat kencang. Kami berlarian keluar. Yang anehnya kami terakhir keluar. Saat itu kami langsung melihat kearah utara. Kebetulan kosan saya bisa lihat puncak gunung merapi. Kami pikir gunung yang akan meletus, ternyata bukan. Lalu dengar isu kalo air naik. Ingat kejadian tsunami di Aceh, semua berhambur ke utara. Nah orang yang di utara mendengar isu gunung merapi akan meletus. Orang yang di utara lari ke selatan. Saat itu uda, saya mendapat informasi banyak yang kecelakaan.
    Isu yang gak baik banyak mendatangkan petaka buat orang2. Alhamdulillah saat itu kami 1 kost gak terpengaruh sama isu tsb.

  22. Pingback: sabtu me-lindu | SURAUPUSAKA

Leave a reply to Soni Satiawan Cancel reply