Aku sedang tidak membicarakan Doyok yang pelawak itu. Tetapi, Doyok yang kumaksud adalah seorang tokoh kartun ciptaan Keliek Siswoyo yang pernah menghiasi halaman harian Pos Kota sejak tahun 1978 yang lalu. Meski sekarang sudah tidak pernah kutemukan lagi, tapi dulu cerita Doyok ini nyaris mengisi hari-hariku.
Ketika itu aku kelas V SD. Papa membuat kandang ayam di halaman belakang rumah. Tujuannya, untuk mensuplai kebutuhan ayam di rumah makan kami. Kalau alasan lainnya, sudahlah pasti karena alasan ekonomi; menguasai dari hulu hingga hilir, halah!
Kandang-kandang itu terdiri dari lima kelompok. Yakni kelompok berdasarkan umur ayam-ayam tersebut; 1 hingga 5 minggu. Setiap kandang berisi 200 ayam. Pada minggu kelima, ayam-ayam tersebut sudah bisa dipanen.
Aku cukup antusias membantu Papa ketika itu. Setiap habis pulang sekolah, nyaris kuhabiskan waktuku untuk mengurusi ayam-ayam tersebut. Mulai dari mempersiapkan kandang untuk anak ayam yang baru datang sampai memberi vaksin ke hewan-hewan tersebut aku lakoni. Aku betul-betul menjalani pekerjaan itu dengan gembira. Apalagi aku mendapat upah dari pekerjaan itu, yakni bila ada tetangga yang membeli langsung ke kandang, seluruh uangnya untukku. Wah, betapa bahagianya diriku ketika menerima uang hasil jerih payahku… 🙂
Nah, salah satu kegiatan yang paling menyita waktuku adalah mempersiapkan kandang untuk bibit ayam yang baru kami beli. Kandang tersebut berukuran 3 x 3 meter, terdiri dari dua lantai. Masing-masing akan diisi 100 ekor anak ayam. Sebelum anak ayam dimasukkan ke sana, kandang sudah harus bersih dan steril. Setelah bersih dan steril, kandang dialasi sesuatu yang bisa membuat anak-anak ayam itu tetap hangat. Berbagai macam cara telah kami lakukan, hingga akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan koran bekas sebagai alas kandang tersebut.
Di sinilah perkenalanku dengan si Doyok yang kumaksud di atas. Koran-koran bekas tersebut dibeli Papaku dari pengepul barang bekas, lumayan banyak. Sebagian besar koran tersebut adalah harian Pos Kota dimana Doyok berada dalam rubrik Lembergar (Lembaran Bergambar Untuk Seluruh Keluarga).
Setiap kali aku bertugas mengalasi kandang dengan koran itu, aku tidak bisa menguasai diri untuk tidak membaca lembaran bergambar yang ada Doyok-nya. Karena koran bekas yang kumiliki cukup banyak, maka seringkali aku tidak bisa berhenti hanya pada satu serial. Rasa penasaran memaksaku untuk meneruskan membaca serial selanjutnya. Jadilah kegiatan mengalasi kandang ayam yang sebetulnya bisa selesai dalam beberapa menit, tertunda menjadi beberapa jam, hanya gara-gara aku keasyikan membaca Lembergar itu. Dan celakanya, kegiatan membaca itu aku lakukan di dalam kandang ayam! Please, jangan bilang siapa-siapa… malu! Hehehe…
Dulu aku memang tidak begitu memahami maksud dari cerita komik Doyok tersebut, selain hanya sekedar lucu dan menghibur. Tapi belakangan, aku mulai memahami mengapa komik itu disukai banyak orang dan awet hingga saat ini. Coba simak analisa Seno Gumira Ajidarma berikut ini:
Dialektika dalam cara berpikir Doyok, pada hemat saya, jauh lebih memikat ketimbang “analisis” para pengamat sosial politik karbitan, yang memanfaatkan media massa hanya sebagai anak tangga pendakian karier, dengan orientasi yang sama dengan seorang pesohor. Memiliki media adalah memiliki kekuasaan, karena kemampuannya melakukan dominasi pernyataan. Media yang canggih dan elit barangkali merasa memiliki kekuasaan karena telah mengemas berbagai pernyataan, tetapi fungsi sebuah media sebetulnya adalah lepasnya kekuasaan itu, untuk diserahkan kepada suara-suara komunitas yang melahirkannya. Hanya dengan begitu media menjadi media. Dalam strip komik Doyok, komentator selalu berganti-ganti. Kadang Doyok, yang kemudian ditinggal pergi; kadang pula entah siapa dari kaki lima, yang gantian ditinggalkan Doyok. Tidak terdapat dominasi pernyataan.
Bahwa Pos Kota didirikan oleh Harmoko, bagian tak terpisahkan dari Orde Baru, ternyata tidak mempengaruhi suara Doyok yang bermukim di Lembergar. Tentunya ada suatu cara untuk memisahkan fakta itu, dengan kerasnya suara Doyok di masa Reformasi, karena toh Doyok mendapatkan popularitasnya justru di masa Orde Baru, karena memang kritis. Ia tidak usah menunggu reformasi untuk menjadi kritis, karena kecenderungan kritisismenya yang memang moralis dan naif. Meskipun begitu, hal ini lebih baik ketimbang intelektualisme munafik para kritisi sosial politik karbitan, yang begitu pengecut di masa Orde Baru masih berkuasa, dan menjadi pahlawan kesiangan setelah Orde Baru jatuh. Ini juga suatu latar belakang yang membuat Doyok lebih bisa dihargai.
Doyok memang luar biasa. Di era kritik menjadi barang haram, dia justru berani muncul secara jenaka dengan kritiknya yang sangat tajam dan mudah dipahami. Kritiknya merupakan suara masyarakat bawah, yang saat ini menjadi komoditi kampanye para calon pemimpin negeri ini. Doyok tidak pernah meninggalkan “rakyat” meski dia sudah sangat sukses. Entahlah dengan calon pemimpin negri ini nantinya, apakah akan tetap “merakyat” setelah sukses menjadi pemimpin… 😉
gambar diambil dari sini
waaah kayaknya aku pernah baca Doyok deh… maklum Pos Kota ngga boleh masuk rumah. Dan bukan Imelda namanya kalau ngga dapat bacaan tabu itu dari supir mobil sekolah atau supirnya papa hihihi. (jadi ingat lingkaran rejeki hahahaha)
So ini salah satu cerita mengenai korannya Uda ya?
Doyok … jendela meekpressikan kegundahan
doyok identik dengan kuruih karempeang, blon ada yang suka di panggil dengan sebutan doyok. hehe…
Uda, aku harus mengatkan: GREAT! GREAT! GREAT! sampai tiga kali. Bagiku ini menarik sekali. Aku sampai senyum-senyum kagum sendiri. Kenapa?
Waktu baca judul dan paragraf awal, aku menyangka Uda akan bicara soal kartun Doyok. Lalu dilanjutkan dengan ayam. Oke. Itu memang mengesankan. Tapi sebelum aku melanjutkan membaca, di tengah perjalanan aku mulai berpikir: di mana korelasi antara komik dan ayam?
Tapi begitu tau bahwa Uda berkenalan dengan Doyok justru dari koran-koran yang dipakai alas bagi anak ayam di kandang, wuih, rupanya di situ menariknya! Dan tertunda beberapa jam mengerjakan kandang, hanya gara-gara keasyikan membaca Lembergar. Mantap!!!
Aku selalu suka dengan proses atau asal muasal seseorang berkenalan dengan sesuatu. Apalagi kalau proses tersebut justru bermula dari sesuatu yang tidak sengaja atau bahkan terkesan unik. Bagiku itu sungguh menarik, Da.
Dan aku suka kutipan Seno tersebut.
wah…., kalo kata tukul amazing..amazing…
wajib cari di google nih
maklum soalnya pas Doyok tu ada mak ama babe gw belum ketemu
🙂 🙂 🙂
:0
“…”
(ngebayangin uda baca koran di kandang ayam)
🙂
Kalo doyok, aku hanya tahu saja, tp tdk terlalu kenal, maklum pos kota tdk ada di Jogja
Aku lebih akrab dengan om pasikom serta koming & pailul
Mengingatkanku, dulu juga suka baca cerita bergambar dari koran bekas….majalah bekas….maklum harga koran, majalah mahal untuk saat itu.
Btw, kritikan melalui gambar memang tak terasa walau sebetulnya bisa menyentuh langsung ke hati.
hahahahaha bener da…kalo di padang dulu ada juga koran yang kayak poskota itu…kalo ndak salah CANANG ya…ada kartun juga dan ada judi tebakan angka juga kayak TOGEL begitu heheheh PORKAS kalo gak salah…bener gak sih, di Koran canang dulu…atau saya salah ? Kalo salah mohon di maafkan…
Kalo dulu saya dan temen2 malah punya istilah “ndoyok” untuk orang yang sok ndagel tapi malah ndak lucu 🙂
Hwaaaa …. :(( *emot menangis*
Aku kok gak tau Doyokkkk ….
Aku telat lahir, atau telat tau ?? Atau tak pernah mencari tau ?
*minder sendiri berkomentar di sini*
*ambil kamera mo foto uda dikandang ayam ama doyok, eh lagi baca doyok deng*
segera gogling biar gak ketinggalan 🙂
saya kenal sama doyok juga waktu masih esde, gara2 disuruh sama embah saya buat beli koran bekas di salah satu warung. koran tersebut biasanya dipakai buat alas ngayak kopi. soalnya dulu, kami bikin bubuk kopi sendiri dari sangan sampai numbuk pake lumpang dan alu, terus diayak. nah, di atas tampah pasti dikasih alas koran bekas oleh embah.
nah,dari beberapa kali membeli untuk alas kopi (entah darimana toko/warung tersebut bisa dapat pos kota, padahal rumah embah di ndesit banget lho*, akhirnya saya membeli sendiri buat dibaca2. akhirnya malah nggak cuma pos kota. panyebar semangat, tempo, kartini, dll (walau bekas), malah mencandui saya. hehe, jadi ingat jaman dulu. 🙂
waduh saya jadi kangen doyok uda,
daripada dengerin komentar pengamat yang kemana-mana, lebih ayem baca doyok ya uda
Ceritamu ini agak aneh bro. Sebagai orang Sumatera, rasanya sulit mencari Pos Kota, kecuali kalau ente tinggal dekat dengan agen besar koran. Aku berkenalan dengan cerita bergambar Pos Kota sejak SD. Itupun ayahku membelinya dari agen besar koran di jalan Pandu Medan. Setelah membaca lembergar itu aku ketagihan, tapi tidak bisa membelinya setiap hari. Tapi, kenangan tentang lembergar di Pos Kota sungguh membekas di kepalaku. Aku bingung kok bisa ada koran bergambar terbit setiap hari. Sementara kalau di harian Waspada, lembar bergambar untuk anak2 hanya terbit seminggu sekali tiap hari Minggu.
Cerita2 yg ada di komik Doyok sangat kental dengan realitas rakyat kecil waktu itu. Sekarang Doyok masih ada nggak ya?
Uda…
Kalau sampai ada seseorang yang rela berlama-lama di kandang ayam hanya karena asyik membaca sebuah komik… satu hal yang pasti, nih, Da…. komiknya pasti ASYIK BUANGET! 🙂
Uda…inti dari tulisan ini ada pada paragraf terakhir 🙂
Doyok memang luar biasa. Di era kritik menjadi barang haram, dia justru berani muncul secara jenaka dengan kritiknya yang sangat tajam dan mudah dipahami. Kritiknya merupakan suara masyarakat bawah, yang saat ini menjadi komoditi kampanye para calon pemimpin negeri ini. Doyok tidak pernah meninggalkan “rakyat” meski dia sudah sangat sukses. Entahlah dengan calon pemimpin negri ini nantinya, apakah akan tetap “merakyat” setelah sukses menjadi pemimpin… 😉
Nahh itu yang penting udaa….penting bener tuwwwww..hehehe
Saya pernah baca Doyok, tapi nggak begitu ingat ceritanya (maklum, di Yogya koran Pos Kota kan sangat jarang ditemukan … ).
Hehehe … waktu baca koran di kandang itu nggak sampai bertelor kan, Da? 😀 😀
Ya…saya juga sering baca cergam Doyok, Da…. Tapi secara karakter tokohnya, saya lebih suka sama cergam Panji Koming. Kalo soal sentilan, dua-duanya sama-sama oke. Saya suka senyum-senyum sendiri kalo mbaca cergam penuh kritikan itu.
Btw, ini percobaan kedua kalinya saya ngasih komen di posting ini lho, Da… Ngga tau kenapa kemaren gagal melulu.
Oiyo…apo namo lapau nasi nyo di Duri, Da?
Wah, sayang sekali udah tutup. Suatu saat kalau Uda buka lapau nasi lagi, namanya “Sinar Jaya Reborn” aja…biar kesannya gimanaaa gitu… 🙂
Aku malah ingetnya bukan Doyok, Da.. Si Oncom@..
Dari semua halaman itulah yang menurutku paling menarik.
Ohya, dalam kandang ukuran 3×3, cuma mbaca si Doyok??
Curiga aku.. heheheh *disambit*
Kok saya sendiri melihatnya dan menyimpulkannya beda yak 😛
Ternyata the rising start itu telah kelihatan bakatnya dari kecil. Jadi ada benarnya kalau salah satu teori kepemimpinan ada yang mengatakan kalau pemimpin itu dilahirkan atawa terlahir sebagai pemimpin.
Sedari kecil sudah kelihatan berbakat kan 🙂
*did not mean some one ..he..he*
Sebenarnya dari awal mau nulis yang lebih “seram” aja .. he..he. Tapi setelah dipikir gak ada salahnya dalam reply kali ini saja ditulis.
Bisa jadi analogi yang salah …tapi let’s see ajalah :
—
Kalau dulu para anbiya memulai ‘karir’nya dari mengembala domba …
Seorang Uda Hardi memulainya dari berternak ayam 🙂
—
Here comes the leader !
*semoga lolos sensor pemilik blog*
😀
Betul juga, tiap orang pasti leader, namun tidak tiap orang jadi Leader (dg L gede).
InsyaAllah gak lupa lah Ustadz, secara guru yang ngajarkannya Uda Hardi …gimana mau lupa 😛
ya ampunn betah di kandang ayam itu yaa karena bacanya asyik hehehe doyok… udah lama ngga baca koran nich… jadi kangen ma baca jawa post 🙂
Habis baca kartun Doyok, langsung baca “Nah Ini Dia!” Asyiiiik.
yang lebih hebat lagi kartunisnya, uda. 😉
saya kenal doyok dari lahir hahahahaha(secara itu bapak saya).. tapi saya gak nyangka kalo sampe segitunya.. i love my father 🙂